Mekanisme Reaksi SN1
Pada reaksi SN1, reaksi terjadi secara bertahap dengan pembentukan intermediet berupa karbokation (C+). Seperti pada contoh, atom klor lepas dari molekul tert-butil klorida (dibantu dengan adanya pelarut polar) sehingga terbentuk ion klorin dan sebuah intermediet bermuatan positif yang disebut sebagai karbokation. Proses pembentukan karbokation ini sangat lambat sehingga menjadi penentu dalam laju reaksi SN1. Molekul air yang memiliki PEB bertindak sebagai nukleofil yang kemudian menyerang karbokation dan menghasilkan produk SN1 berupa tert-butil alkohol. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1) dapat dilihat pada gambar berikut:

Mekanisme Reaksi SN2
Pada reaksi SN2, pemutusan dan pembentukan ikatan baru terjadi secara bersamaan. Ion hidroksida sebagai nukleofil menyerang karbon yang bermuatan parsial positif pada substrat, yaitu karbon yang mengikat atom klor pada molekul klorometana sebagai berikut:

Serangan nukleofil terjadi dari sisi yang berlawanan dengan gugus pergi (atom klor). Saat reaksi berlangsung, ikatan antara nukleofil dan atom karbon semakin kuat, sedangkan ikatan antara atom karbon dan klor (gugus pergi) semakin melemah. Dalam keadaan transisi, ikatan antara oksigen dan karbon sebagian terbentuk, sedangkan ikatan antara karbon dan klorin sebagian putus. Segera setelah ikatan antara oksigen dan karbon terbentuk, ikatan karbon dengan klor putus dan atom klor lepas sebagai ion klorida. Reaksi ini berlangsung dalam satu tahapan reaksi, tanpa pembentukan zat antara (intermediet) dengan keadaan transisi.
Perbedaan Reaksi SN1 & SN2
Pembanding | SN1 | SN2 |
Reaksi substitusi nukleofilik | Unimolekuler | Bimolekuler |
Orde reaksi | Orde 1, r = k[RX] | Orde 2, r = k[RX][:Nu-] |
“Big Barrier” | Stabilitas karbokation | Halangan sterik |
Alkil halide (elektrofil) | 3° > 2° >> 1° | 1° > 2° >> 3° |
Nukleofil | Lemah (umumnya netral) | Kuat (umumnya membawa muatan negative) |
Pelarut | Polar protik (contoh, alcohol) | Polar aprotic (contoh, DMSO, aseton) |
Stereokimia | Campuran retensi dan inversi | Inversi |
Faktor Yang Mempengaruhi Reaktivitas Terhadap Reaksi SN1 & SN2
1. Substrat
Reaktivitas substrat terhadap reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1) dan bimolekuler (SN2) sebagai berikut:
a. SN1: alkil halide tersier > sekunder > primer
b. SN2: alkil halide tersier < sekunder < primer
Pada reaksi SN1, halide tersier akan menghasilkan karbokation tersier yang akan distabilkan dengan adanya tiga ikatan sigma pada tiga atom karbon di dekatnya. Hal ini berkonstribusi pada kerapatan electron disekitar karbokation melalui efek hiperkonugasi, yaitu gugus alkil akan menyumbangkan kerapatan elektronnya terhadap karbokation yang kerapatan elektronnya berkurang. Efek hiperkonjugasi kurang berpengaruh pada penstabilan karbokation sekunder dan primer. Oleh karena itu, pada reaksi SN1 alkil halide terrsier lebih reaktif daripada alkil halide sekunder dan primer.
Pada reaksi SN2 , nukleofil memerlukan jarak dalam kisaran yang sama dengan jarak ikataan atom karbon dengan gugus pergi. Oleh karena itu, substituent besar yang menempel atau berada di dekat karbon pusat reaksi akan menghasilkan efek penghambatan yang besar. Hal ini mengakibatkan energy bebas yang diperlukan untuk mencapai keadaan tansisi menjadi lebih besar. Alkil halide sederhana, seperti metil halide, akan bereaksi paling cepat pada reaksi SN2 karena hanya 3 atom hydrogen kecil yang mengganggu nukleofil untuk mendekat. Neopentil dan halide tersier adalah yang paling tidak reaktif terhadap reaksi SN2 karena gugus-gugus fungsi yang besar di sekitar karbon pusat reaksi menimbulkan hambatan yang besar pula bagi nukleofil untuk mendekat.
2. Nukleofil
Nukleofil tidak berperan dalam langkah penentu laju pada reaksi SN1 , pada reaksi SN1 konsentrasi atau sifat dari nukleofil tidak berpengaruh. Sementara itu, laju reaksi SN2 bergantung pada konsentrasi dan sifat dari nukleofil yang menyerang. Kekuatan relative nukleofil (nukleofilitasnya) diukur dari segi laju relative terhadap reaksi SN2 dengan substrat yang diberikan. Nukleofil yang baik adalah yang bereaksi cepat dengan substrat yang diberikan dalam reaksi SN2 . Nukleofil yang buruk adaah yang bereaksi lambat dalam reaksi SN2 dengan substrat pada kondisi reaksi yang sama. Nukleofilitas dapat dikorelasikan dengan tiga ciri structural berikut:
- Nukleofil bermuatan negative selalu merupakan nukleofil yang lebih reaktif daripada asam konjugatnya. Jadi, OH– adalah nukleofil yang lebih baik daripada H2O, sedangkan OR– adalah nukleofil yang lebih baik daripada ROH.
- Dalam kelompok nukleofil, yaitu atom nukleofilik sama, nukleofilitas sebanding dengan sifat basanya. Contohnya, pada senyawa oksigen ditunjukkan urutan reaktivitasnya sebagai berikut: OR– > OH– >> RCO2– > ROH > H2O. Urutan ini sesuai dengan urutan sifat basanya, yaitu ion alkoksi (OR–) sedikit lebih basa daripada ion hidroksi (OH–). Ion hidroksida (OH–) lebih basa daripada ion karboksilat (RCO2–) dan seterusnya.
- Apabila atom nukleofilik berbeda, nukleofilitas tidak sebanding dengan sifat basanya. Misalnya, dalam pelarut protik, HS– , CN– , dan I– adalah nukleofil yang lebih kuat daripada OH–.
3. Pelarut
Molekul pelarut, seperti air atau alcohol, disebut pelarut protik, yaitu pelarut yang memiliki atom hydrogen yang terikat pada unsur elektronegatif (oksigen) yang sangat kuat. Pelarut protik tidak memiliki atom hydrogen yang terikat pada atom elektronegatif. Sehingga tidak dapat membentuk ikatan hidrogen.
Penggunaan pelarut protik akan sangat meningkatkan laju pembentukan karbokation dari alkil halide pada reaksi SN1 karena kemampuannya untuk mensolvasi substrat dengan efektif melalui pembentukan ikatan hydrogen. Solvasi menstabilkan keadaan transisi yang mengarah pada pembentukan karbokation. Dengan demikian, energy aktivasi menjadi lebih rendah. Proses solvasi akan menarik gugus pergi sehingga lepas dari substratnya. Gugus pergi yang membentuk anion akan distabilkan pula oleh pelarut polar protik sehingga tidak kembali mengikat substrat.
Sementara itu, reaksi SN2 akan berlangsung baik pada penggunaan pelarut yang bersifat polar protik. Hal ini disebabkan molekul pelarut polar aprotic tidak dapat membentuk ikatan hydrogen sehingga nukleofil bebas tanpa tersolvasi, akibatnya lebih memudahkan reaksi SN2. Sejumlah pelarut polar aprotic telah banyak digunakan karena sangat membantu reaksi SN2. Beberapa contoh pelarut polar aprotic adalah DMF (N,N-dimetilmetanmida), DMSO (dimetil sulfoksida), DMA (dimetil asetamida), dan HMPA (heksametilfosforamida).