Latar Belakang
Tanaman cabai menjadi salah satu bahan yang sering dijadikan bumbu pada makanan tradisional di Indonesia sehingga tidak mengherankan bila volume peredaran di pasar berada dalam jumlah yang besar. Data yang tercatat oleh BPS (2015) menunjukkan bahwa produksi cabai pada tahun 2014 mengalami peningkatan sebesar 4,8% dan tahun 2015 peningkatannya sebesar 8,04% sehingga produksi cabai ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan di tahun-tahun berikutnya. Peningkatan produktivitas cabai tersebut tidak diimbangi dengan harga pasar yang stabil.
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) adalah salah satu komoditi rempah-rempah yang cukup penting dan tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari dalam konsumsi rumah tangga, khususnya dalam pengolahan makanan. Cabai rawit banyak dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan bahan campuran pada berbagai pengolahan makanan dan minuman, selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan dan kosmetika (Purwono, 2003). Buah cabai rawit ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran buah cabai jenis cabai besar (cabai hibrida). Namun, rasa buah cabai rawit lebih pedas dibandingkan dengan cabai besar karena memiliki kandungan oleoresin yang lebih tinggi. Oleoresin merupakan cairan kental, berwarna cokelat kemerahan, mempunyai sifat melekat (lengket) (Somaatmadja, 1981). Oleoresin tersusun atas campuran minyak atsiri, capsaicin, gula, bahan-bahan yang bersifat resin yang larut dalam pelarut organik (Pruthi, 1980). Rasa pedas yang utama pada cabai rawit disebabkan oleh adanya senyawa capsaicin.
Capsaicin terdapat pada plasenta buah, tempat melekatnya biji. Capsaicin yang merupakan sebuah alkaloid, digunakan sebagai aditif makanan untuk memberikan rasa pedas dalam makanan yang diformulasikan. Capsaicin juga digunakan dalam sediaan farmasi sebagai stimulan pencernaan dan untuk gangguan rematik. Capsaicin telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai pengobatan topikal untuk kondisi nyeri kronis, termasuk neuralgia postherpetic, neuropati diabetes yang menyakitkan, dan osteoartritis. Namun, capsaicin diklasifikasikan sebagai iritan, menyebabkan sensasi terbakar lokal, eritema, atau menyengat, dan aerosol capsaicin dapat menyebabkan batuk atau bersin. Oleh karena itu, capsaicin harus ditangani dengan hati-hati (Katritzky, 2003).
Dalam bidang farmasi selain untuk meredakan rasa sakit atau nyeri, capsaicin juga dikenal memiliki aktivitas antikanker (Surth, 2002). Ketika capsaicin digunakan melawan kultur sel kanker, ditemukan dapat mencegah relokasi sel kanker payudara; dan juga berhasil membunuh sel kanker prostat. Ketika dihydrocapsaicin ditambahkan, hal tersebut dapat menginduksi apoptosis pada sel-sel kanker usus manusia (Oh, et al., 2008; Thoennissen, et al., 2010; Yang, et al., 2010).
Tinjauan Pustaka
Capsaicin merupakan zat berkhasiat utama dalam buah cabe (Capsicum sp). Cabai dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu Cabai besar (Capsicum annum L.) dan Cabai kecil atau rawit (Capsicum frutescens L.) Jika cabai dibelah, maka kita akan menemukan tangkai putih di dalamnya yang mengandung zat capsaicin. Zat capsaicin ini seperti minyak dan menyengat sel-sel pengecap lidah. Zat capsaicin inilah yang mengakibatkan cabe menjadi terasa pedas dan panas di lidah saat mengkonsumsinya. Selain itu, capsaicin ini juga dapat membuat para pengkonsumsinya merasa ketagihan dan kecanduan. Itulah alasan yang membuat banyak orang begitu menyukai, bahkan tidak mau berhenti mengkonsumsi cabai. Jika dikonsumsi dalam jumlah terlalu banyak, cabai dapat mengakibatkan sakit perut yang dahsyat bagi pengkonsumsinya (Dalimarta, 2000).
Capsaicinoid yang menyebabkan rasa pedas dari cabai adalah senyawa turunan dari fenilpropanoid yaitu capsaicin, dimana senyawa capsaicin merupakan capsaicin primer yang terdapat dalam cabai, diikuti oleh dihidrocapsaicin, dan senyawa lainnya. Capsaicin dan dihidrocapsaicin merupakan capsaicinoid paling banyak dengan jumlah 90% dari total capsaicinoid dalam cabai. Capsaicin (trans-8-metil- N -vanilil-6nonenamida) adalah sebuah kristalin, lipofilik, tidak berwarna dan tidak mudah menguap (volatile) dengan rumus molekul C18H27NO3. Berat molekul dari capsaicin adalah 305,40 g/mol dan merupakan suatu lemak, alkohol juga larut dalam minyak. Pertama kali dikrisalisasikan pada tahun 1876 oleh Tresh, dan struktur molekul diselesaikan oleh Nelson dan Dawson pada tahun 1919 (Nelson and Dawson, 1923).
Kepedasan merupakan salah satu indikator mutu cabai merah yang dicerminkan oleh kandungan capsaicin. Capsaicin adalah senyawa utama capsacinoid yang terdapat dalam buah cabai dari tanaman genus Capsicum. Cabai mengandung 0,1 sampai 1,5% capsaicin tergantung dari jenis cabai dan varietasnya serta kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Edmond dkk, 1983)
Dalam bidang farmasi selain untuk meredakan rasa sakit atau nyeri, capsaicin juga dikenal memiliki aktivitas antikanker. Ketika capsaicin digunakan melawan kultur sel kanker, ditemukan dapat mencegah relokasi sel kanker payudara; dan juga berhasil membunuh sel kanker prostat. Ketika dihydrocapsaicin ditambahkan, hal tersebut dapat menginduksi apoptosis pada sel-sel kanker usus manusia. Capsaicin juga diujicobakan sebagai obat diabetes oleh peneliti asal Toronto, Canada. Dia melaporkan bahwa resistensi insulin dan stres sel β pada tikus NOD prediabetic dicegah ketika neuron TRPV1 + dihilangkan. TRPV1NOD, terlokalisir ke lokus diabetesrisiko Idd41 yang merupakan mutan hipofungsional, mediasi neurogenik depresi tertekan. Memberikan substansi neuropeptida P melalui suntikan intra-arteri ke dalam pankreas NOD membalikkan resistensi insulin normal (Razavi, et al., 2006).
Berdasarkan penelitian Novita (2015) serbuk cabai rawit 100 g dengan metode refluks menggunakan pelarut kloroform dapat menghasilkan kristal capsaicin sebanyak 0,5 g yang berupa kristal tidak berwarna. Bila dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Langi (2000) menunjukan bahwa dari 30 g serbuk cabai rawit yang di refluk menggunakan pelarut etanol menghasilkan 5,76 g oleoresin. Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan perbedaan pelarut yang digunakan pada saat refluks.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk percobaan ini yaitu kertas saring, baskom, ayakan, neraca analitik, blender, timbangan, gelas kimia, gelas ukur, pipet tetes, pengaduk dan gelas beker. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah cabai rawit, etanol, dietil eter dan es batu.
Prosedur Kerja
Persiapan Sampel
Persiapan sampel Buah cabai rawit segar yang diperoleh, dicuci bersih. Kemudian dikeringkan dalam ruangan terbuka selama 3 hari . Setelah kering sampel dihaluskan dengan alat blender dan kemudian diayak dengan ayakan.
Isolasi Capsaicin
Langkah awal pada isolasi capsaicin yaitu sebanyak 10 g serbuk cabai rawit dimasukkan ke dalam gelas kimia 250 mL dan ditambahkan dengan pelarut etanol 100 mL sambil diaduk dengan batang pengaduk, kemudian dimaserasi selama 24 jam . Hasil ekstrak disaring dengan kertas saring dan residunya dicuci kembali dengan etanol lalu disaring. Seluruh filtrat yang diperoleh, dievaporasi untuk memisahkan pelarut etanol sehingga diperoleh ekstrak cabai rawit. Ekstrak pekat tersebut ditambahkan dengan dietil eter kemudian dikocok dan didinginkan dalam pecahan es lalu didiamkan sampai terbentuk kristal. Kristal yang diperoleh disaring kemudian dikeringkan. Untuk mengurangi pengotor yang ada pada kristal dilakukan rekristalisasi dengan menggunakan etanol, kemudian kristal tersebut ditimbang
Data Pengamatan
Oleoresin = 20 gram
Capsaicin = 0,136 gram
Rendemen = 1,36%
Analisis Data
Menghitung Rendemen
Rendemen =(massa hasil)/(massa sampel) ×100%
= ( 0.136 gram)/(10 gram) ×100%
= 1,36%
Menghitung RF
Jarak elusi berrcak = 2,8 cm
Batas elusi pada plat = 8 cm
Rf = (jarak elusi bercak)/(batas elusi pada plat)
Rf = 2,8/8
= 0,35
Pembahasan
Tahap awal ekstraksi cabai rawit adalah dengan mengeringkan sampel dibawah sinar matahari sampai sampel benar-benar kering. Tujuan pengeringan adalah untuk menghilangkan kadar air yang terkandung dalam cabai. Setelah kering sampel kemudian dihaluskan hingga berbentuk serbuk. Serbuk tersebut kemudian ditimbang sebanyak 10 gram dan dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol selama 24 jam. Pemilihan metode maserasi pada percobaan kami dikarenakan maserasi merupakan ekstraksi yang paling sederhana. Metode maserasi adalah proses pengekstrakan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature ruangan. Maserasi sendiri bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun tidak tahan pemanasan. Prinsip metode dari maserasi yaitu pencapaian keseimbangan pada konsentrasi bahan ekstraksi didalam cairan. Keseimbangan itu terjadi ketika melarutnya kandungan simplisa dari sel yang rusak ketika penghalusan dari bahan kandungan sel yang masih utuh keluar secara keseluruhan pada pelarutnya. Pengocokan atau pengadukan sendiri pada proses maserasi bertujuan untuk mempercepat keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi. Maserasi sampel dilakukan dengan pelarut etanol karena sifatnya yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang bersifat polar, semipolar, dan nonpolar (Arifin et.al, 2006) Setelah didapatkan ekstrak kemudian dilakukan evaporasi untuk mendapatkan ekstrak kasar. Sehingga didapatkan oleoresin sebanyak 20 mL dari ekstrak cabai sebanyak 70 mL. kemudian dilakukan isolasi dengan menambahkan dietil eter pada ekstrak kasar kemudian dikocok agar homogen. Campuran tersebut kemudian dilakukan rekristalisasi dengan etanol. Rekristalisasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk memurnikan padatan (Mohrig, 1979) sedangkan (andrew & rispoli,1991) menyatakan bahwa metode rekristalisasi dapat digunakan untuk memisahkan suatu padatan dengan padatan lainnya. Hasil rekristalisasi tersebut diperoleh sebesar 0,1363 gram dengan rendemen sebesar 1,363 %. Menurut Langi (2000) dari 100 gram serbuk cabai diperoleh hasil kristal sebanyak 1,22 gram sedangkan pada percobaan kami dengan 10 gram sampel dihasilkan kristal sebanyak 0,136 gram, hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan referensi yang kami dapat. Rendahnya rendemen yang kami peroleh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu proses maserasi yang singkat sehingga kemungkinan masih ada zat-zat dalam simplisa belum terekstrak seluruhnya. Penguapan yang kurang lama sehingga ekstrak masih tercampur dengan etanol dan kristal yang diperoleh masih banyak yang tertinggal di kertas saring, baik pada saat membebaskan oleoresin dari ampas melalui penyaringan maupun pada saat rekristalisasi untuk mendapatkan kristal capsaicin.
Garam hasil rekristalisasi kemudian dilarutkan dengan etanol untuk uji KLT. Hasil ekstraksi ditotolkan pada plat KLT. Sebelum itu plat KLT bersilika di garis dengan pensil dengan jarak 1 cm pada bagian atas dan bawah plat lempeng silika. Sebelum itu eluen ditunggu sampai jenuh. Lempeng silika yang telah ditotol dimasukkan pada eluen yang terdiri dari N-heksana, kloroform dan etanol dengan perbandingan 5:2,5:2,5 mL. Kemudian ditunggu sampai eluen naik mendekati garis batas. Lempeng silika disinari dengan lampu UV sehingga, diperoleh 9 titik pada lempeng silika, dimana saat ditarik garis diperoleh nilai Rf sebesar 0,35. Sedangkan menurut (Regina,2016) nilai Rf ekstrak etanol cabai rawit dengan fase gerak toluen-etil asetat (1:1 v/v) dapat diperoleh nilai sebesar Rf 0,43. Faktor yang mempengaruhi hasil yang kami peroleh yaitu eluen yang belum naik seluruhnya dan jenuh dan fase gerak yang digunakan.
Simpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh oleoresin sebanyak 20 mL dan kristal capsaicin sebanyak 0,136 gram dengan rendemen sebesar 1,36%. Kristal yang dihasilkan berbentuk serbuk tak berwarna serta diperoleh nilai Rf dari uji KLT dengan fase gerak N-heksana, etanol, dan kloroform sebesar 0,35.
Daftar Pustaka
Dalimarta, 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid II. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Evangelista, regina H. 2016. Penetapan Kadar Kapsaicin dan Uji Antioksidan Fraksi Toulen-Etil Asetat Buah Cabai Rawit (Capcisum Frustences) dengan Metode 2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil (DPPH). Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Farmasi. Universitas sanata dharma : Yogyakarta.
Katritzky, 2003. Model Compounds of Caged Capsaicin: Design, Synthesis, and Photoreactivity. J. Org. Chem., 68(23).
Langi, T. 2000. Ekstraksi dan karakterisasi oleoresin cabai rawit (Capsicum frutescens L). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Nelson, E.K. and Dawson, L.E. 1923. The constitution of capsaicin, the pungent principle of Capsicum. III. J. Am. Chem. Soc, 45: 2179-2181.
Novita, T, Dewa, G.K, Henry, F.A. 2015. ISOLASI CAPSAICIN DARI OLEORESIN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.). J Chem. Prog. Vol. 8. No. 2
Purwono. 2003. Bertanam Cabai Rawit dalam Pot.Tangerang: Agromedi Pustaka.
Pruthi, J.S. 1980. Spice and Coniments. New York: Academic Press
Rao, S. Ramachandra and Ravishankar, G.A. 2002. Plant cell cultures: Chemical factories of secondary metabolites. Biotechnol. Adv., 20: 101-153.
Razavi R, Chan Y, Afifiyan FN, et al. 2006.”TRPV1+sensory neurons control beta cell stress and islet inflammation in autoimmune diabetes.” Cell. 15;127(6): 1123-35.
Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Oleoresin di Indonesia. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor
Thoennissen NH, O’Kelly J, Lu D, et al. 2010. Capsaicin causes cell cycle arrest and apoptosis in ER-positive and-negative breast cancer cells by modulating the EGFR/HER2pathway. Oncogene, 29: 285–296.
Yang, Z.H., Wang, X.H., Wang, H.P., et al. 2010. Capsaicin mediates cell death in bladder cancer T24 cells through reactive oxygen species production and mitochondrial depolarization. Urology, 75: 735–741.